3 Cara Membuat Tokoh yang Hidup

Published by

on

Saya sedang membaca buku James N. Frey yang berjudul How to Write a Damn Good Novel, dan menemukan penjelasan yang bagus banget soal karakter. Menurut Frey, ada dua jenis karakter dalam novel, yaitu karakter bulat dan karakter datar.

Bedanya apa, sih?

 

Karakter bulat dan karakter datar

Karakter datar biasanya digunakan untuk memunculkan tokoh-tokoh yang hanya mengatakan satu-dua kalimat saja. Misalnya: karakter pelayan, loper koran, bartender, dll. Mereka mungkin tampak berwarna-warni dan mencolok, temperamental atau tampak tenang. Namun, mereka selalu ada di sekeliling, tidak pernah di tengah-tengah cerita. Pembaca tidak sepenuhnya tertarik kepada mereka. Mereka karakter yang mudah dilabeli dengan satu sifat saja: rakus, atau saleh, atau pengecut, dan seterusnya.

Mereka tidak memiliki kedalaman; penulis tidak mengeksplorasi motif maupun konflik pribadi mereka—keraguan yang mereka miliki, rasa bersalah, dll. Selama karakter datar ini dipakai untuk mengisi peran kecil di novelmu, tidak apa-apa. Namun, jika digunakan untuk peran penting seperti penjahat utama, tulisan dramatis akan berubah menjadi melodrama.

Karakter lainnya adalah karakter “bulat”, “penuh”, atau “tiga dimensi”. Semua tokoh penting di novelmu haruslah tipe ini, bahkan para antagonisnya. Tokoh-tokoh bulat sulit dilabeli. Mereka memiliki motif yang kompleks serta keinginan membungungkan, dan hidup dengan renjana serta ambisi. Pembaca sudah mengetahui sebelum mereka muncul dalam novel, kalau tokoh-tokoh ini mengalami kehidupan yang kaya dan penuh. Pembaca menginginkan keintiman dengan karakter-karakter tersebut karena mereka ingin tahu.

Lajos Egri, dalam buku The Art of Dramatic Writing (1946) menggambarkan karakter bulat sebagai tiga dimensi. Dimensi pertama adalah fisiologis, kedua, sosiologis, ketiga, psikologis.

 

Dimensi fisiologis karakter termasuk tinggi dan berat badan karakter, usia, jenis kelamin, ras, kesehatan, dll. Cantik atau buruk rupa, pendek atau tinggi, kurus atau gemuk—semua ciri fisik ini memengaruhi cara karakter berkembang, sama halnya hal-hal tersebut memengaruhi manusia.

Masyarakat membentuk karakter kita berdasarkan penampilan, ukuran, jenis kelamin, warna kulit, bekas luka, kecacatan, keabnormalan, alergi, postur, dll. Gadis pirang bermata biru yang mungil dan rapuh tumbuh dengan harapan-harapan yang berbeda dibandingkan saudaranya yang berhidung seperti jarum dan bermata seperti serangga. Untuk mengembangkan tokoh bulat, kita harus benar-benar memahami fisiologis dari karakter.

Dimensi fisiologis karakter termasuk tinggi dan berat badan karakter, usia, jenis kelamin, ras, kesehatan, dll. Cantik atau buruk rupa, pendek atau tinggi, kurus atau gemuk—semua ciri fisik ini memengaruhi cara karakter berkembang, sama halnya hal-hal tersebut memengaruhi manusia.

Masyarakat membentuk karakter kita berdasarkan penampilan, ukuran, jenis kelamin, warna kulit, bekas luka, kecacatan, keabnormalan, alergi, postur, dll. Gadis pirang bermata biru yang mungil dan rapuh tumbuh dengan harapan-harapan yang berbeda dibandingkan saudaranya yang berhidung seperti jarum dan bermata seperti serangga. Untuk mengembangkan tokoh bulat, kita harus benar-benar memahami fisiologis dari karakter.

Dimensi kedua adalah sosiologis. Berada di kelas sosial apa karakter Anda? Di lingkungan seperti apa karakter itu tumbuh? Sekolah macam apa yang dia masuki? Bagaimana sikap orangtuanya soal seks, uang, dll? Apakah tokoh ini diberikan kebebasan atau tidak sama sekali? Apakah tokoh itu punya banyak teman, sedikit, atau tidak punya sama sekali; seperti apa mereka? Untuk benar-benar memahami karakter, kita harus mampu mengusut sampai ke akarnya. Karakter manusia ditempa dalam iklim sosilogis, entah itu manusia sungguhan ataupun karakter fiksi. Kecuali sang novelis memahami dinamika perkembangan karakter, motivasi karakter tidak akan benar-benar dimengerti. Motivasi sang tokohlah yang membuat konflik dan membangun tensi naratif yang harus dimiliki novelmu jika ingin berhasil menggenggam perhatian pembaca.

Dimensi ketiga, dimensi psikologis adalah produk dimensi fisiologis dan sosiologis. Dalam dimensi psikologis, kita menemukan fobia dan mania, kompleksitas, ketakutan, pola rasa bersalah dan hasrat, fantasi, dan seterusnya.

Kamu tidak perlu menjadi psikolog untuk menulis novel. Namun, kamu harus menjadi pengamat umat manusia dan memahami mengapa manusia melakukan apa yang mereka lakukan dan mengatakan apa yang mereka katakan.

Buatlah dunia ini sebagai laboratoriummu, dan buatlah tokoh-tokoh yang hidup agar pembaca lebih mudah mengidentifikasi diri dengan tokohmu.

 

-Jia-

6 responses to “3 Cara Membuat Tokoh yang Hidup”

  1. Gusti 'ajo' Ramli Avatar

    Thanks for sharing.. makin paham, ada perbedaan signifikan antara karakter datar dan bulat.. Jadi menambah wawasan dan moga bisa mengenali karakter tokoh yg kita tulis..

  2. Nikmal Abdul Avatar

    Kak, dapet bukunya darimana?

    1. Jia Avatar

      ini buku terbitan 87 gitu, lupa dapatnya dari mana.

  3. aulia Avatar

    Thanks for sharing, mbak. Ini menarik sekali.

  4. Dyah Prameswarie Avatar
    Dyah Prameswarie

    Sudah lama share ini di Facebook, tapi baru sempat kemari. Menarik, Jia. Terima kasih sudah berbagi.

    Mungkin itu sebabnya, sebaiknya tiap tokoh dibuatkan “biodata” ya 🙂

  5. How to Plot Your Novel – Jia Effendie Avatar

    […] tokoh bulat (dia punya tiga dimensi; fisiologis, sosiologis, dan psikologis. lebih lengkapnya, baca di sini […]

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.